Menilai Karya Sastra yang Dibahas
Penilaian terhadap karya sastra merupakan kegiatan yang disebut kritik sastra.
Sedikit Sejarah Rustam Effendi
Drama bersajak Bebasari oleh Rustam Effendi adalah penting sebagai hasil usaha mencobakan bentuk baru dalam kesusastraan Indonesia. Di sini syair mendapat bentuk baru, digunakan dalam percakapan- percakapan suatu cerita berbentuk tonil. Dengan sekaligus di sini dilakukan dua percobaan, yakni pertama syair yang bersifat cerita buat yang pertama kali dipakai untuk menyatakan pikiran dan perasaan sebagai pengucapan cita-cita kebangsaan dan kedua bentuk sandiwara buat pertama kali dimasukkan pula dalam kesusastraan Indonesia. Drama bersajak ini tidak asing dalam kesusastraan dunia kalau kita mengarahkan pandangan kita ke Yunani dengan penulis-penulis dramanya Aeskylos, Sofokles, Euripides, ke Jerman dengan Goethe dan Schiller, dan ke Inggris dengan Shakespheare.
Dalam drama Bebasari dengan mudah kita melihat simbolik hasrat bangsa Indonesia yang hendak merdeka. (Bebasari, perkataan bebas ada dalamnya). Rustam tidak mengambil sesuatu tokoh dalam sejarah seperti Sanusi Pane dan Muhammad Yamin. Pemain-pemainnya hanya perlambang-perlambang. Rawana, raksasa yang zalim, kita kenali sebagai penjajah, yang telah merampas kemerdekaan Bebasari, perlambang Indonesia; sedangkan Bujangga ialah putra Indonesia. Semangat berontak dan hasrat kemerdekaan menjadi suara dasar drama ini. Berkata Bujangga:
Setiap pohon di dalam belukar
Dari pucuknya lalu ke akar,
Setiap batu di dalam sungai,
Setiap buih ombak di pantai,
Setiap sinar syamsu yang permai,
Setiap bunyi di tengah ngarai,
Itulah rakyat pembala aku,
Karena itu tanah airku,
Disuarankan moyang bapa dan ibu,
Sedarah sedaging dengan jiwaku.
Menggetarkan hati penjajah tenaga sugestif yang terkandung dalam perkataan Esa dan Arma:
Tuhanku Raja raksasa,
Terbanglah cepat naik angkasa,
Tinggalkan taman dari yang indah,
Sampai waktunya kita bertahta,
Tangkas perangnya, maksudnya sakti,
Musuh berkeris senajata hati,
Hilang satu, timbul seratus,
Segala insan menentang angus.
Dan apakah meragu-ragukan kata amanat dari Bebasari ini?
Kakanda, dari zaman berganti zaman,
Tetap hatiku menanti tuan,
Kakanda bakal membawa merdeka,
Sebab cintamu kepada loka.
Susah payah tuan kemari,
Menyeberangi darah menempuh duri.
O, kakanda, junjungan beta,
Tidak kemenangan dapat dipinta.
Tiap pekerjaan meminta korban,
Tiap asmara melupakan badan.
Adapun kita hidup di sini,
Selintas lalu sebagai mimpi,
Selama hidup tak putus perang,
Itulah kehendak zaman sekarang,
Asmara sayap usaha yang tinggi,
Asmara kepada bangsa sendiri.
Di dalam kumpulan sajak-sajak Rustam Effendi Percikan Permenungan banyak orang akan bersua dengan perasaan-perasaan yang akan dianggap oleh Angkatan 45 sentimentil, penggunaan bahasa yang berlebih-lebihan sehingga dirasa sebagai permainan kata, tanda-tanda baca yang tidak perlu dan ini memang perbedaan paham yang sewajarnya yang jika diingat, bahwa antara Rustam Effendi dengan Angkatan 45 ada jarak waktu 20 tahun yang mengalir cepat dan diisi oleh kejadian-kejadian sejarah yang hebat-hebat.
Cinta kepada ibu, cinta kepada kampung halaman, asmara remaja, kesedihan dan sedu sedan, hanya dianggap cukup baik bagi pemuda yang berangkat dewasa dan adalah pengalaman-pengalaman prive yang tidak perlu dicanangkan. Akan tetapi kedewasaan bukanlah terletak pada soal, tetapi jiwa yang mengalami soal. Jiwa ini pun tidak dapat dipotongpotong tetapi keseluruhan juga yang dapat mencintai, membenci, sedih dan senang, putus asa dan berharap, serta lemah dan keras. Di dalam masa yang tenang, tatkala mobil baru satu dua yang di jalan-jalan dan kapal udara suatu keanehan, di masa persoalan (zakelijkheid) belum lagi menguasai dan mengejar-ngejar kehidupan manusia di Indonesia, sudah tentu tidak dapat diharapkan persoalan dalam pandangan hidup dan sikap hidup orang-orang.
Tentang bahasa sudah tampak jelas bahwa Rustam Effendi masih melakukan percobaan-percobaan. Seperti juga Amir Hamzah dan Sanusi Pane pada mulanya, dia mencari ke Sansekerta dan bahasa Arab, suatu hal yang ditinjau sepintas lalu agak aneh, karena perkataan-perkataan lama itu tidak hidup lagi dalam masyarakat yang sebaliknya mengambil dan memerlukan lagi perkataan-perkataan dan pengertian-pengertian baru yang sesuai dengan kemajuan masyarakat. Di masa Pujangga Baru seorang Amir Hamzah masih merasa jelek perkataan mesin dan radio digunakan oleh seorang kawan sealiran Armin Pane dalam sajaksajaknya. Perbedaan paham ini diterangkan dengan mengingat bahwa para pengarang dan penyair itu mempunyai pandangan dunia yang berlainan pula. Seseorang masih ingin hidup di zaman silam, sedangkan yang lain telah melempar tinjauan ke depan. Akan tetapi, yang tidak dapat disingkirkan oleh mereka itu adalah pemakaian bahasa daerahnya yang demikian memperkaya pula bahasa Indonesia. Bukan saja bahasa daerah, tetapi juga bahasa “kocokan” dan bahasa “golongan”, semua itu memperkaya sehingga menjadikan bahasa Indonesia. Perjuangan Pujangga Baru selain perjuangan pembaharuan kesusastraan yang berarti juga pembaharuan pandangan hidup dan sikap hidup adalah perjuangan memperbaharui bahasa. Oleh Takdir Alisyahbana, Armin Pane dan Sanusi Pane pernah dengan sengit dilakukan perang pena dengan kaum “kolot” dari kalangan guru yang hendak mempertahankan “Melayu Asli”, memuncak pada uraian Takdir “Kekacauan yang Nikmat”, Pujangga Baru 1935, yang di dalamnya dikatakan bahwa “bahasa Thionghoa Melayu yang sering diejekkan itu kami berikan hak yang selayaknya”. Demikianlah, dalam bahasa pun dilakukan pendemokrasian.
Rustam Effendi dalam tahun 1926 belum sejauh itu. Di dalam sajaksajaknya dalam Percikan Perenuangan dan drama Bebasari masih berkuasa bahasa daerah dan seperti dikatakan di atas dicarinya pula perbendaharaan kata-kata lama dari Sanskerta dan Arab. Akan tetapi, cara mempergunakan bahasa lama itu mempunyai individualitas sendiri, dalam pembentukan kata baru untuk mendekati kehalusan perasaan, dalam kombinasi kata-kata, malahan dalam kebebasan kepenyairannya itu sering membuat kata baru atau memotong kata-kata yang ada untuk disesuaikan dengan irama dan bunyi yang dikehendakinya. Demikian perkataan dari dipendekkannya menjadi dir, perkataan menunggu menjadi menung, perkataan badai menjadi bad, perkataan dunia menjadi duya dan individualisme ini kita mesti terima dari orang yang berjiwa merdeka:
Sarat saraf saja mungkiri,
Untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.
Akan tetapi, individualisme ini tidak dapat diartikan dalam pengertiannya yang mutlak. Maksudnya adalah penemuan diri sendiri, harga diri sendiri sebab dalam hubungan kekeluargaan dan kemasyarakatan perhubungan tetap kuat dan mesra. Sajak-sajaknya Pangkuan Bunda, Bunda dan Anak, Kuburan Bunda, Kerajaan Tuhan, dan Tanah Air cukup membuktikan bagaimana kerasnya hubungan keluarga hubungan dengan Yang Mahakuasa, hubungan dengan bangsa. Apakah ini ratapan seorang individualis?
Bilakah bumi bertabur bunga,
Disebarkan tangan yang tiada terikat,
Dipetik, jari yang lemah lembut,
Ditanami sayap kemerdekaan rakyat?
Bilakah lawang bersinar bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada berkata?
Bilakah susah yang beta benam,
Dihembus angin kemerdekaan kita?
Di sanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, suara sa’irku.
Disitulah baru bersuka cita,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput menikam bangsaku.
Kesusastraan bukanlah hanya apa yang berlaku pada sesuatu masa, tetapi juga yang berlaku pada lain-lain masa dengan ukuran cita rasanya sendiri. Hikayat, dengan pantun dan syair yang indah sama masuk kesusastraan seperti juga roman, sajak dan drama yang disebut modern, nilainya menurut ukuran-ukurannya tentu boleh bertingkat-tingkat pula.
Sumber: H.B. Jassin. 1950. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai, Jakarta: Gunung Agung, hal. 122-125.