Favorit yang Tak Diskriminatif
Memasuki awal ajaran baru atau masa pendaftaran siswa baru (PSB), seluruh sekolah dan lembaga pendidikan mulai mempromosikan pendidikan yang dimiliki. Yakni, lewat penyebaran brosur dan pemasangan spanduk di setiap jalan serta sudut kota. Mereka menawarkan program-program sekolah yang dapat menarik minat masyarakat (orang tua murid). Hal tersebut dilakukan untuk menghadapi persaingan antarsekolah yang masing-masing berharap mendapatkan siswa pendaftar untuk memenuhi jumlah tempat duduk yang tersedia. Pemandangan seperti itu bisa disaksikan pada setiap awal ajaran baru atau masa penerimaan murid baru. Setiap orang tua murid berharap agar anaknya dapat belajar di sekolah yang bermutu. Yakni, mencari sekolah favorit, walau-pun tawaran biaya pendidikannya mahal.
Kehadiran sekolah favorit di masyarakat menjadi fenomena yang tidak terelakkan lagi. Sebab, masyarakat telanjur berasumsi bahwa hanya sekolah yang tidak favorit tidak akan memberikan pendidikan yang baik. Padahal, keberhasilan peserta didik tidak seluruhnya bergantung pada baik buruknya sekolah atau mahal tidaknya biaya pendidikan.
Munculnya istilah sekolah favorit di masyarakat secara tidak langsung telah memunculkan istilah lain, yaitu sekolah nonfavorit. Dengan demikian, telah terjadi discrimination of school (diskriminasi lembaga sekolah). Sebab, masyarakat akhirnya akan memarginalkan sekolah nonfavorit.
Dengan munculnya dua istilah tersebut, telah terjadi dua hal. Pertama, diskriminasi terhadap sekolah sekolah nonfavorit sebagai subjek pendidikan dan diskriminasi siswa sebagai objek yang tidak mampu belajar di sekolah favorit, baik karena keterbatasan kualitas dan keterampilan maupun keterbatasan finansial (financial problem). Sekolah favorit dengan segala kelebihannya jelas tidak sebanding dengan sekolah nonfavorit. Dari segi fisik dan sarana penunjang pendidikan (comparative advantage), sekolah favorit jauh lebih memadai, begitu pula dari sisi mutu pendidikannya (competitive advantage). Sebab, sekolah favorit biasanya bermodal besar sehingga merekrut tenaga pendidikan yang profesional di bidangnya serta mampu menyediakan sarana penunjang yang representatif.
Kondisi tersebut berbeda dan bertolak belakang dengan yang dialami sekolah nonfavorit yang segalanya serba terbatas. Dipandang dari segi fisik dan sarana belajar sebagai penunjang pendidikannya, sekolah nonfavorit jelas sangat kekurangan. Kondisi serupa terjadi dalam segi mutu serta manajemen sekolah yang amburadul (asal jalan).
Hal itulah yang mengakibatkan masyarakat memandang sebelah mata sekolah nonfavorit. Mereka menarik sebuah kesimpulan bahwa menghasilkan siswa bermutu (output) harus diimbangi dengan sarana serta kualitas pendidikan yang baik. Pandangan masyarakat seperti itu tidak salah dan sah sebagai bentuk penilaian yang subjektif.
Namun, kadang-kadang orang tua murid mempunyai penilaian keliru. Yakni, ukuran kualitas pendidikan dipandang dari sisi besar atau tidaknya biaya pendidikan. Masyarakat yang mampu berupaya memasukkan anaknya di sekolah yang mahal, yang kadang-kadang disebabkan oleh gengsi yang tinggi. Padahal, banyak sekolah yang berbiaya murah tetapi berkualitas. Misalnya, hal itu terjadi di sekolahsekolah pedesaan.
Dengan semakin banyaknya sekolah yang menamakan dirinya sebagai sekolah favorit, sekolah tersebut semakin berlomba-lomba meningkatkan biaya pendidikan yang akhirnya berakibat pada kesenjangan sosial. Sebab, hanya orang kaya yang dapat masuk. Padahal, kebutuhan terhadap pendidikan yang bermutu tidak hanya milik orang kaya. Akan tetapi, mereka yang berada di bawah garis kemiskinan juga sangat membutuhkan dan semestinya mendapatkan tempat.
Ironisnya, tidak sedikit lembaga pendidikan yang mengesampingkan faktor kualitas dan keterampilan siswa dalam merekrut siswa baru. Banyak sekolah elite yang mengomersilkan pendidikannya sehingga hanya orang di kelas atas yang mampu menjangkaunya. Padahal, banyak siswa yang bermodal cukup namun tidak berbekal skill serta kualitas bagus yang tertinggal dari siswa yang berasal dari golongan miskin. Apalagi, biasanya jauh sebelum pendaftaran murid baru dimulai, sekolah-sekolah favorit telah mematok harga tinggi dengan perincian anggaran yang tidak mungkin terjangkau masyarakat bawah sehingga masyarakat yang berasal dari ekonomi lemah sedini mungkin harus mengubur impiannya dalam-dalam. Bahkan, mereka sampai frustasi dan terpaksa menyekolahkan anaknya di sekolah yang terjangkau atau kadang memilih menganggurkan anaknya. Persaingan sekolah favorit dengan biaya pendidikan yang mahal adalah sah dan baik selama persaingan tersebut masih normal dan diimbangi pelayanan pendidikan yang baik, menjanjikan terbentuknya anak didik yang baik, serta dilatarbelakangi hal yang bersifat komersial. Bagaimanapun, orang tua murid berharap agar anaknya memiliki keterampilan serta kualitas yang sesuai harapan.
oleh: Ahmad Millah Hasan
(Sumber: Harian Jawa Pos, 1 Agustus 2007)
Berdasarkan catatan dalam format 4.1 dapat disusun berbagai pertanyaan tentang isi teks yang belum jelas. Selanjutnya, sampaikan pertanyaan tersebut kepada orang yang membacakan teks tadi!
Contoh:
a. Apa yang dimaksud dengan sekolah favorit?
b. Kapan persaingan antarsekolah biasa terjadi?