wendycode

Cerpen "Cut" Karya Asma Nadia

0

Cut

oleh: Asma Nadia 

Sudah tiga hari, Cut. Tapi aku masih berharap akan melihatmu. Lelaki bertubuh jangkung, dengan kulit legam itu terus berjalan tanpa alas kaki. Sesosok tubuh mungil dalam gendongan sesekali menggeliat. Mungkin karena udara panas yang menyengat. Mungkin juga akibat bau menusuk atau lapar yang berkeriuk.

Laki-laki itu terus berjalan. Kedua tangannya yang kurus terkadang membelai punggung si sosok kecil. Menenangkannya. Mendekapnya lebih erat. Berharap kehangatan cinta bisa menyumpal rasa lapar. Sia-sia. Makhluk kecil di pelukannya malah terisak di antara suara batuk yang mengguncang bahu kecilnya.

“Sshh... sshh....”

Si lelaki menggoyang-goyangkan tubuh ringkih anaknya. Suara isak masih terdengar sebelum pelan-pelan senyap. Matahari tegak lurus di atas kepala. Si lelaki memandang cermat daerah yang dilalui. Puingpuing bangunan dan serpihan kayu menumpuk. Tubuh-tubuh membujur kaku. Nanar matanya mencari-cari, melihat satu per satu. Tak tahu harus lega atau menangis. Setelah Ayah, Mak, dan saudara-saudaranya tewas dalam gelombang tsunami yang menggulung, hanya perempuan itu yang menjadi tumpuan harapan.

*****
Ahh, di mana engkau, Cut? 

Kebahagiaan yang sempurna. Cut Rani adalah gadis kebanggaan di Keudah. Incaran banyak mata. Dan dia, lelaki yang hanya memiliki rasa, memenangkan pertarungan,

“Selamat, kawan!” 

Hasan, teman semasa SMA, menjabat tangan Zein kuat-kuat. Lelaki berkulit gelap dengan rambut berombak itu sedikit tersipu. Sudah bukan rahasia di kampung mereka, perihal perasaan sahahatnya itu pada Cut Rani, istrinya kini.

Istri. 

Zein membisikkan kata itu dalam hati. Sambil kedua mata menikmati betul pemandangan di sisinya. Cut Rani tampak luar biasa cantik hari itu. Wajahnya tak putus mendulang senyum. Kelopak matanya menyambut ramah tamu-tamu yang mendekat. Ada bintang kecil-kecil menari di sana, dan tertangkap siapa pun yang beradu pandang dengannya. Butiran keringat di pucuk hidung, kian menambah pesona gadis itu. 

Istrinya. Istri.

Zein mengulang-ulang kata itu di kepalanya. Sambil terus menerima uluran ucapan selamat yang tertuju padanya. Sering pemuda itu harus tersenyum malu, saat menyadari perhatian dan wajahnya, beberapa kali tak terfokus pada tamu-tamu yang memberi selamat. Sebab Cut Rani begitu indah.

Begitu banyak lelaki mendapatkan perempuan, batinnya, tapi tak semua mendapatkan istri.

Dia sungguh beruntung 

Zein lama di Jakarta selepas kuliah. Atasannya, juga teman-teman satu kantor, kelihatan mudah saja mendapatkan perempuan. Putus satu, sambung satu. Putus. Sambung lagi. Putus, sambung lagi. Bahkan tak perlu ada jeda setelah putus. Seolah panah asmara begitu elastis untuk dibelok-belokkan, ketika target yang dipasang berubah arah. Tapi banyak dari perempuan yang sebagian dinikahi oleh teman-teman sekantornya, jauh dari kriteria lelaki itu. Dandanan, gaya bicara, cara mereka berpakaian. Perempuan-perempuan itu cantik. Dan di mata Zein, itulah yang didapatkan teman-temannya. Mereka mendapatkan perempuan, tapi bukan istri. Tentu saja pendapat itu hanya disimpannya diam-diam. Bisa-bisa diketok kepalanya jika mereka tahu apa yang dipikirkannya.

“Apa salahnya dengan perempuan cantik?” protes Iwan, rekannya di kantor.
Zein menggelengkan kepala. Bingung juga disergap tiba-tiba begitu.
“Bukan itu.”
“Ah, jangan munafik, Zein. Bukankah itu yang pertama membuat kita tertarik pada mereka?”
Zein ingin menggeleng. Tapi dirasanya percuma. Mereka tak akan mengerti, pikirnya. Betul, percuma.

“Yang penting cantik! Seksi. Apalagi?”
Bayangan Cut Rani mendadak saja berkelebat.
Cut Rani yang sehari-hari berbaju kurung dan kain. Cut Rani yang kerap tersipu setiap bersitatap dengan laki-laki. Cut Rani yang rajin mengaji.

Mata kejora, hidung bangir, dan bibir merah jambu milik gadis itu nyaris sama istimewanya dengan gadis-gadis lain yang Zein temui di kota. Tapi entah kenapa, bernilai lebih ketika semua itu menyatu pada sosok Cut Rani. 

Dada Zein berdebar keras. Di kursinya, Iwan masih menunggu jawaban. Bagi cowok berambut kelimis itu, Zein terlalu sombong sebagai lelaki. Entah apa pula yang bisa disombongkannya? Setidaknya pegawai perempuan di kantor mereka yang rata-rata masih muda itu pasti setuju. Sebagai lelaki, cowok Aceh itu belum memiliki segala. Karir pun baru dimulai.

“Kalaupun kusampaikan, belum tentu kamu mengerti, Wan!”
Kalimat itu diucapkan Zein hati-hati, “Sudahlah!”
“Try me!”
Iwan mendekatkan kursinya, hingga berhadapan persis dengan kursi Zein.
“Keluargaku di kampung, banyak yang susah.”
“Lalu?”’
Zein tertawa, “Aku harus sombong biar tak mudah patah hati.”

Sebenarnyalah, kesetiaan sudah lama dia bangun. Kesetiaan yang nanti akan dipersembahkannya pada gadis dari Keudah itu. Cut Rani.

Iwan tak sepenuhnya mengerti. Tapi ketika dia menuntut penjelasan, Zein hanya tertawa, lalu membalikkan kursinya, kembali menghadap meja komputer.

***

Hari kelima. Di mana kau sayang? 

Lelaki itu duduk bersandar pada sisa dinding sebuah bangunan. Di pangkuannya si bayi mungil tampak lemas. Mata kecilnya sayu. Tubuhnya terkulai. Batuk-batuknya makin keras. Tarikan napasnya melambat. Keceriaan sudah lima hari ini terbang entah ke mana, juga celoteh riang dalam bahasa bayi yang biasa mereka dengar.

Mereka, dia, dan Cut Ranni. 

Biasanya dia dan istri kerap memandangi wajah lelap Mutia dengan kedua pipi yang montok dan tubuh berisi menggemaskan.

“Anak-anak kecil tu luar biasa ya Bang….” 
“Apanya?” Lelaki itu menatap cermat wajah Mutia. Menggemaskan, seperti bayi umumnya. “Mereka begitu kecil. Begitu mungil.” Berkata begitu Cut Rani menyelipkan jarinya hingga berada dalam genggaman jari si kecil.

“Memang begitu. Kalau besar namanya bukan bayi lagi.” 

Dia mencoba melucu. Cut Rani memanyunkan bibirnya. Indah. Lelaki itu selalu bisa menikmati ekspresi istrinya. Bahkan ketika Cut Rani mengomel atau merajuk. “Abang nih. Tengoklah....” Seperti mendapatkan komando dari atasan tertinggi, lelaki itu menegapkan tubuhnya, dan memberi tanda hormat.

“Siiii…aaaap!”
“Ah, Abang nih!” Cut Rani merajuk lagi. Semakin indah di mata si lelaki.
“Apanya, Sayang?” Mereka berdiri bersisian, memandang sosok mungil dalam boks bayi.

“Bayi-bayi ni begitu kecil, tapi besarnya kebahagiaan yang mereka timbulkan.”
Dia mengangguk. Mcnyetujui pendapat sang istri.

Tapi kini, lelaki itu hanya bisa mengerjapkan mata, menahan air agar tak tumpah dari sana. Cut-nya…ke mana lagi dia harus mencari? 

Beberapa hari yang lalu, semuanya masih baik-baik saja. Mereka masih bersama. Sampai kejadian itu datang. Guncangan dahsyat yang membuat kaki-kaki tak mampu menopang badan. Mengempaskan segalanya. Keduanya bahkan harus merayap agar sampai ke boks bayi dan mengangkat Mutia.

“Bang….” 

Cut Rani menatapnya. Belum pernah dia melihat pandangan istrinya sesedih itu. Tanpa bintang-bintang yang biasa menarikan kerlip di sana. Suara teriakan panik menggema di mana-mana. Mereka tak bisa berpikir lama. Tak sempat membawa apa pun lagi. Si lelaki hanya tahu dia harus menyelamatkan istri dan anaknya. Mereka berhasil keluar rumah. Satu tangan lelaki itu memeluk erat bayi mereka, satu tangan lagi menggenggam kuat-kuat pergelangan istrinya.

“Cepat!” 

Kepanikan di mana-mana. Bau kematian di udara. Orang-orang tunggang langgang. Orang-orang terinjak-injak. Orang-orang menjerit. Menangis. Menggerung. Di antaranya ada suara mengerikan lain, bersama sesuatu yang merekah. Tanah retak-retak. Lain sesuatu yang basah menggulung tinggi. Mengejar!

Mereka bertatapan sekejap. Menautkan jari lebih erat. Ketika itulah dia sadar, bintang-bintang di mata istrinya benar-benar telah pergi. Lelaki itu memandang jemarinya yang terluka. Seperti belum lama dia merasai tangan halus istrinya. Menggenggamnya kuat-kuat. Air matanya kembali mengambang. Begitu beberapa lama. Hingga seperti tersentak, lelaki itu teringat sesuatu. Tangannya meraba kantung celana panjang. Hati-hati dikeluarkannya sebentuk dompet perempuan. 

Sebelum musibah besar itu mereka berencana ke pasar. Seperti biasa, Cut Rani telah menitipkan dompet itu padanya. Sebab sebagian besar baju perempuan itu tak berkantung, dan istrinya tak suka melenggang dengan tas. Pelan-pelan dikeluarkannya kertas kecil berlapis plastik yang terselip di dompet. Tampak foto hitam putih berukuran dua kali tiga di sana. Lelaki itu menatapnya tak percaya. Lantas seolah dirasuki tenaga baru, dia bangkit, lalu menunjukkan foto dalam KTP itu ke orang-orang yang ditemuinya. Berharap di antara mereka ada yang sempat melihat istrinya, setelah bencana maha dahsyat itu.

Tak dirasanya lelah, atau sosok mungil yang memberati sebelah tangannya. Lelaki itu terus mencegat orang-orang yang berjalan dari segala penjuru. Orang-orang yang berjalan dengan pandangan kosong. Tapi tak ada yang melihat Cut Rani. Sebaliknya, sebagian justru menunjukkan foto-foto lain, anak-anak, dewasa, dan orang tua. Lalu mereka sama terpekur saat menemukan gelengan kepala sebagai jawaban. 

Cut, ke mana Abang harus mencarimu?

Sebuah truk penuh barang, berhenti tak jauh darinya dan segera saja menjadi pusat perhatian. Menyadarkan lelaki itu akan kepentingan yang lain, Cut Rani kecil di tangannya. 

“Sssh.. .ssh... Mutia, jangan tidur. Sebentar lagi kita makan.”

Lelaki itu menyelipkan KTP ke dalam dompet, lalu memasukkannya ke dalam saku celana yang kotor dan penuh bercak lumpur kering. Setelah itu baru bergegas mendekati truk yang sudah ramai dikerubuti orang. Sejam berdiri dalam antrian, ia mengambil tempat agak menyudut. Memotong kecil-kecil biskuit di tangannya. Mengantarkannya ke mulut mungil Mutia, yang kemudian bergerak lambat-lambat. Sesekali terbatuk. 

“Ya, begitu Bang. Kalau banyak-banyak tersendak dia nanti.”

Lelaki itu merasakan matanya kembali mengembun. Betapa sulit mengusir letupan-letupan sisa kenangan. Saat kebahagiaan masih menjadi milik mereka. 

“Zein!” 
Sebuah panggilan didengarnya. Kali ini nyata. 
Hasan!

Mereka berpelukan. Menahan sedu dan sedan yang menggumpal di dada, dan menyisakan telaga di bola mata. 
“Ada kabar tentang Cut Rani. Kau belum dengar?” 
Wajah lelaki itu pias. Rahangnya mengeras.
 
***
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
Komentar

Tinggalkan pesan yang positif untuk membangun komunikasi yang sehat

Tinggalkan pesan yang positif untuk membangun komunikasi yang sehat

Posting Komentar (0)
2/sidebar/Soal 11

#buttons=(Accept !) #days=(360)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda.Pelajari lagi
Terima!
To Top